Urgensi Memahami Tasawuf dan Ilmu Tasawuf


URGENSI MEMAHAMI
TASAWUF DAN ILMU TASAWUF

Di Susun

O
L
E
H
KELOMPOK 1

NAMA         : KARMILA
                 RAHMAT SAPUTRA

PRODI : KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING : JAMAL MILDAD, M.kom.I
 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) MALIKUSSALEH – LHOKSEUMAWE TAHUN
 2015 / 2016



DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
      A. Latar belakang...............................................................................................1
      B. Kisi-kisi Makalah..........................................................................................1
      C. Pengertian dan Tujuan Isi Makalah...............................................................1

BAB II PENGERTIAN ASAL USUL
DAN ISTILAH-ISTILAH DALAM TASAWUF
      1. Pengertian Tasawuf...................................................................................... .2
      2. Asal Usul / Sejarah Tasawuf......................................................................... 3
      3. Istilah-Istilah dalam Tasawuf....................................................................... .4
      4. Fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern............................... .6

BAB III PENGERTIAN DAN TUJUANMEMPELAJARI
ILMU TASAWUF
     A. Perkembangan Tasawuf............................................................................... .11
     B. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)........................................................ ..12
     C. Tahap Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya )..............................................13

BAB IV PENUTUP
     A. Kesimpulan....................................................................................................14
     B. Daftar Pustaka............................................................................................. ..14



BAB I
PENDAHULUAN

URGENSI MEMAHAMI TASAWUF DAN ILMU TASAWUF

Islam adalah agama yang didirikan diatas tiga pilar utama, yaitu: Islam jika memandang pada amal perbuatan, iman jika memandang pada aqidah yang mengerakkan, dan Ihsan jika memandang pada kesempurnaan realisasi dan tujuan dari perpaduan iman dan amal perbuatan. Ketida pilar ini dalam terminologinya bisa jadi mengalami perubahan, termasuk yang paling terkenal yaitu terminology fiqh, Tauhied dan Tasawuf. Akan tetapi sepanjang sejarahnya umat Islam senantiasa berusaha menerapkan ketiga pilar tersebut. Generasi awal Islam adalah mereka yang menyatukan antara keluasan ilmu pengetahuan dan kedekatan diri dengan Allah SWT. Kemudian dari mereka, lahirlah generasi-generasi yang mempunyai kecintaan hati kepada Allah sekaligus ilmu yang dapat menerangi jalan mereka menuju Allah. Mereka adalah ilmuwan (Ulama/Alim) sekaligus pendidik (Murabbun/murabby) dalam waktu yang bersamaan.
Dari sana, terjadi perkembangan yang besar dalam ilmu-ilmu keislaman secara umum, dimulai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan diantaranya dalam bentuk madrasah-madrasah, pesantren-pesantren dan universitas-universitas yang memperhatikan ilmu-ilmu keislaman. Akan tetapi, sekarang lembaga-lembaga pendidikan tersebut mengalami kemunduran karena mengesampingkan pilar Ihsan atau yang disebut sebagai tasawwuf. Penyebabnya adalah pemisahan antara pengajaran praktis dengan (fungsi) guru dan pendidik, yaitu dengan semakin sulitnya ditemukan guru pendidik sekaligus bisa menjadi teladan moral sebagaimana ulama salaf dahulu.



BAB II
PENGERTIAN ASAL USUL
DAN ISTILAH-ISTILAH DALAM TASAWUF

1.Pengertian Tasawuf

Dalam penjelasannya, Dr. Harun Nasution menerangkan bahwa: Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.


Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).

2. Asal Usul / Sejarah Tasawuf
Hakikat dan Sejarah Tasawuf

Hakikat Tasawuf Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah?
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam al-Qur\'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\'in tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.
Sejarah Tasawuf
Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H).

3. Istilah-Istilah dalam Tasawuf

sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang istilah-istilah dalam Tasawuf, ada baiknya mengikuti uraian berikut ini.
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara’. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion wara’, ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

Adapun istilah-isilah yang berkaitan dengan tasawuf
1. maqam / maqamat
2. fana' dan baqa
3. ittihad
4. hulul
5. wihdatul wujud
6. zuhud
7. Mahabbah

4. Fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern

1. Karakteristik tasawuf

Berdassarkan objek dan sasarannya tasawuf dikasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Tasawuf Akhlaqi, yaitu Tasawuf yang sangat menekankan pada nilai-nilai etis (moral)
2. Tasawuf Amali, yaitu Tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar diperoleh pengahayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah.
3. Tasawuf Falsafi, yaitu Tasawuf yang lebih menekankan pada masalah-masalah metafisik (sesuatu yang diluar nalar dan rasio manusia).


A.      Pengertian dan Tujuan Mempelajari Ilmu Akhlak
Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, yang juga erat hubu-ngannya dengan khaliq yang berarti pencipta; demikian pula dengan makhluqun yang berarti yang diciptakan.
Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk.
Maksud perbuatan yang dilahirkan dengan mudah tanpa pikir lagi disini bukan berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak dike-hendaki. Jadi perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu benar-benar sudah merupakan “azimah”, yakni kemauan yang kuat tentang sesuatu perbuatan, oleh karenanya jelas perbuatan itu memang sengaja dikehendaki adanya. Hanya saja karena keadaan yang demikian itu dilakukan secara kontinyu, sehingga sudah menjadi adat/kebiasaan untuk melakukannya, dan karenanya timbullah perbuatan itu dengan mudah tanpa dipikir lagi.
Perlu dijelaskan pula bahwa memang sering perbuatan itu dilakukan secara kebe-tulan tanpa adanya kemauan atau tanpa dikehendaki, atau juga sesuatu perbuatan yang dilakukan sekali atau beberapa kali saja, begitu pula suatu perbuatan yang dilakukan tanpa adanya ikhtiar dan kebebasan, dalam arti dilakukannya perbuatan tersebut dengan terpaksa, maka perbuatan-perbuatan seperti tersebut diatas tidaklah dapat di-kategorikan kedalam “akhlak”.
Dapatlah dicontohkan disini, seseorang tidaklah dikatakan berakhlak dermawan, apabila dalam memberikan harta/uangnya (dalam bersedekah) itu dilakukan hanya sekali atau dua kali saja, atau mungkin dalam pemberian itu karena terpaksa (karena gengsi, dan sebagainya). Jadi pemberian tersebut mestinya tidak dikehendaki, atau mungkin dalam pemberian itu masih memerlukan perhitungan dan pemikiran (masih merasa berat).
Tujuan akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik di-dunia maupun diakhirat. Karena itu, kita sebagai manusia untuk hidup saling memban-tu baik dari pekerjaan, kebutuhan atau yang lainnya.
Berkenaan dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlak ini, Ahmad Amin mengata-kan sebagai berikut:
Tujuan mempelajari Ilmu Akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim                                                                                                            
 termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk perbua-tan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk.
Selanjutnya  Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.
Selain itu ilmu akhlak juga akan berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat. Diketahui bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani. Jasmani dibersihkan secara lahiriah melalui fiqih, sedangkan rohani dibersihkan secara bathiniah melalui akhlak.





BAB III
PENGERTIAN
DAN TUJUANMEMPELAJARI ILMU TASAWUF

Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah keMadinah, saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf (kain wol). Keseluruhan kata bisa-bisa saja dihubungkan de-ngan tasawuf. Kata ahl as-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke-Madinah) misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raga-nya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan dan harta benda lainnya diMekkah untuk hijrah bersama Nabi keMadinah. Tanpa ada unsur iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka melakukan hal yang demikian. Selanjutnya kata saf juga menggambar-kan orang yang selalu berada dibarisan depan dalam beribadah kepada Allah dan me-lakukan amal kebajikan. Demikian pula kata sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat, dan kata suf (kain wol) meng-gambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia. Dan kata sophos (bahasa Yunani: hikmat) menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cende-rung kepada kebenaran.
Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergan-tung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus ber-juang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan me-musatkan perhatian hanya kepada Allah swt.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (Ketuha-nan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika ketiga definisi tasawuf diatas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegia-tan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercer-min akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah swt. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.5
Tujuan tasawuf adalah ma’rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan lebih jelas. Tasawuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun taswuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman ataupun tata cara yang dilaku-kan.
Faedah tasawuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat terhadap Allah Ta’la sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan diakhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’la dan mendapatkan kebahagiaan abadi.
Makna Tasawwuf
Tasawwuf mempunyai dua makna: makna pertama lebih ditekankan pada usaha mensucikan jiwa, dan bersunggu-sungguh dalam mematuhi Allah dan meneladani Rasulallah SAW. hingga jiwa menjadi bersih dan memantulkan haqiqat dan rahasia ketuhanan. Inilah yang disebut sebagai Ilmu Muamalah dalam menempuh jalan kepada Allah, yaitu dengan memperbaiki dan membingbing hati, memurnikannya untuk Allah dari selain Allah. Tasawuf, dalam makna ini, harus bersumber dari sumber yang suci dan berpijak pada kaidah syariah yang benar. Sebagaimana yang disebutkan oleh seorang tokoh besar Sufi Syekh al Junaid: “Ilmu kita ini terikat dengan Kitab dan Sunnah….”
Makna kedua adalah dzauq dan perasaan hati, atau hasil-hasil kasyaf yang dialami dan dirasakan oleh para salik(penempuh jalan Allah). Makna yang kedua ini adalah husus untuk para pelakunya, tidak bisa diungkapkan atau ditulis atau diisyaratkan, tidak pula dapat dijadikan sebagai hukum syari’at atau argumentasi hukum, juga tidak mungkin dikatakan dalam ungkapan dan bahasa apapun, karena merupakan perasaan hati yang tidak mungkin dapat diuraikan dengan kata-kata. Pada makna yang kedua ini, sebagian guru sufi mengisyaratkan: “perngetahuan kita tentang ini hanyalah isyarat.” Inilah yang disebut dengan Ilmu Mukasyafah, yaitu cahaya yang terpancar dari hati dalam pencapaian pada penyatuan dengan Tuhan Semesta Alam. Bagi seseorang, hendaknya menjalankan tasawuf dengan makna yang pertama, sehingga dapat diraih rahasia makna yang kedua.
Kenapa harus Tasawuf
Islam adalah agama yang menjungjung tinggi peranan akal dan membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran baru, serta mendorong intraksi praksis maupun teoritis terhadap fenomena alam. Pada saat yang sama, islam juga menekankan pada keterjagaan hati dan ketulusan rasa dan menjadikan iman sebagai ruh penggerak bagi hati yang dinaungi cinta dan kebaikan sekaligus ditandai dengan kebenaran. Islam bukanlah teori-teori praksis dan ekonomis belaka yang terlepas dari bimbingan ketuhanan. Ia adalah sikap hati yang terbuka lapang, dimana cahaya cinta bersinar dari seluruh dingding-dingdingnya. Hati yang sangat terikat dengan Tuhan yang menciptakannya, senantiasa mencari jejak Sang Pencipta di alam raya ini.
Sebenarnya tidak ada pemisahan antara pemikiran yang tercerahkan dan sikap hati yang terpuji. Validitas pemikiran seyogyanya berjalan seiring dengan validitas tindakan dan sikap. Akan tetapi dalam prakteknya konsep yang sudah menjadi aksioma ini sering terkendala. Tasawuf adalah solusinya. Karena Tasawuf menjawab secara tuntas pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana kita menumbuhkan rasa akan keagungan Allah dan sikap khusuk terhadap-Nya? Bagamana kita dapat menghayati keimanan kita sehingga tidak hanya mengambang di permukaan akan tetapi menjadi landasan bertindak dan bersikap? Bagamana mentranformasikan ma’rifat akan Allah untuk mendorong tumbuhnya karakter dan sikap terpuji? Bagaimana seseorang bisa mencintai Allah sehingga secara naluriah akan senantiasa mematuhi dan mencari keridhaan-Nya? Menjadikan kecintaannya kepada Allah sebagai penggerak yang secara otomatis menjauhkan dirinya dari perbuatan maksiat dan durhaka? Dan bagaimana agar seseorang dapat memandang penampakan-penampaka Allah dalam semua ciptaanNya, menyaksikan nama-nama Allah yang baik dalam setiap diam dan gerakan kapan dan dimanapun saja?
Bagaimana Bertasawuf
Tasawuf adalah program pendidikan yang focus pada penyucian jiwa dari segala penyakit yang menghalangi manusia dari Allah SWT. sekaligus meluruskan penyimpangan-penyimpangan kejiwaan dan tindakan dalam masalah yang berkaitan dengan hubungan seorang hamaba denga Tuhannya, dengan dirinya dan dengan orang lain. Ia adalah metode pendidikan ruhani dan praksis untuk mengangkat seseorang ke tingkat ihsan yang dijelaskan oleh Nabi SAW. sebagai; “hendaknya kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, kalau kamu tidak melihat-Nya maka Allah sesungguhnya melihat dirimu.”

Oleh karena itu, orang yang hendak mempelajari tasawuf harus mengambil ilmu ini dari sumbernya yang dipercaya. Dibawah bimbingan seorang guru, menghirup apa yang sang guru hirup, dan melalui tahapan-tahapan yang sang Guru lalui. Syekh Ata’illah al Iskandari berkata: “Orang yang hendak mencari tahu, dan menempuh jalan petunjuk, seyogyanya mencari guru dari kalangan ahli dalam bidang ini, yang telah menempuh jalan petunjuk, dan senatiasa meninggalkan hawa nafsunya, serta mempunyai pijakan yang kuat dalam menghambakan diri kepada Tuhannya. Kalau ketemu, maka hendaklah mematuhi apa yang sang guru perintahkan dan menghindari dari apa yang sang guru larang.”



  1. Perkembangan Tasawuf
Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam dapat dikelompokan ke dalam beberapa tahap :
Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap awal perkembangan tasawuf dimulai pada akhir abad ke-1H sampai kurang lebih abad ke-2H.
Gerakan zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya merupakan respon terhadap gaya hidup mewah para pembesar negara akibat dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami perluasan wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia.
Tokoh-tokohnya menurut tempat perkembangannya :
1. Madinah
Dari kalangan sahabat Nabi Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H); Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
2. Basrah
Hasan Al Bashri (w. 110 H); Malik ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais (w. 149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)
3. Kufah
Al Rabi ibn Khasim (w. 96 H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106 H); Sufyan Al Tsauri (w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H).

4. Mesir
Salim ibn Attar Al Tajibi (W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 171 H).

Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang dikenal sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah.


Tahap Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H )
Paruh pertama pada abad ke-3 H, wacana tentang Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah (aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology baru yang sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain.
Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al Baghdadi.
Muncul pula karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoritis, termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz (w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H)
Pada masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang mempromosikan tasawuf yang berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al Hallaj dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapam ganjil yang sering kali sulit untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum muslim, seperti “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak ada apapun dalam jubah-yang dipakai oleh Busthami selain Allah” (mâ fill jubbah illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar dengan ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”.

  1. Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)
Pada tahap ini, tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi merupakan tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, muridnya. Sebagian ahli juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.


  1. Tahap Tarekat ( Abad ke-7 H dan seterusnya )
Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti tarekat Junaidiyyah yang didirikan oleh Abu Al Qasim Al Juanid Al Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa ini tarekat berkembang dengan pesat.
Seperti tarekat Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al Jilani (w. 561 H) dari Jilan (Wilayah Iran sekarang); Tarekat Rifa’iyyah didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H) dan tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al Suhrawardi (w. 563 H). Tarekat Naqsabandiyah yang memiliki pengikut paling luas, tarekat ini sekarang telah memiliki banyak variasi , pada mulanya didirikan di Bukhara oleh Muhammad Bahauddin Al Uwaisi Al Bukhari Naqsyabandi.
Dengan demikian, maka ilmu tasawwuf yang pada intinya adalah sebagai usaha untuk menyingkap hijab yang membatasi antara manusia dengan Allah swt. Dengan sistem yang tersusun melalui latihan ruhaniyah dan riyadhah an-nafs yang mengandung empat unsur pokok :
  1. Metafisika, yakni hal-hal yang berkenaan dengan luar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu ghaib.
  2. Etika, yakni ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan yang buruk dengan melihat pada amal manusia sejauh yang dapat dicari oleh akal dan pikiran manusia.
  3. Psikologia, yakni masalah yang berhubungan dengan jiwa. Psikologi dalam tasawwuf tentu sangat berbeda dengan psikologi modern. Dalam tasawwuf yang menjadi objek psikologi adalah diri sendiri.
  4. Estetika, yakni ilmu keindahan yang melahirkan seni. Untuk meresapkan seni, harus ada keindahan dalam diri. Puncak keindahan itu adalah cinta.

BAB IV
KESIMPULAN

Tasawuf yang oleh sebagian orang dianggap mengandung unsur penyimpangan dari syariat Islam dan didaulat sebagai biang keladi pembawa kemunduran ternyata tidak dapat dibuktikan. Ajaran tasawuf dapat dicari dasar-dasarnya secara jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan sebagian besar ulama telah membuktikannya dengan jelas. Sebagai ilmu ijtihad manusia, akhlak tasawuf sama dengan ilmu lainnya. Disana ada kelemahan, kekurangan, keistimewaan dan kelebihannya. Kiranya cara bijaksana yang perlu kita tempuh adalah apabila kita mengambil keistimewaan dan kelebihan dari tasawuf itu memandu hidup kita, dan meluruskan paham-paham yang kurang propor-sional.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Syaamil, 2005)H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)

Admin User Link :
  1. Twitter     : @ALghazali_fahmy
  2. Facebook : GFzalgonza and Miela.mazaya
  3. Email       :

Advertisement

Next
Newer Post
Previous
This is the last post.

0 comments:

Post a Comment

 
Top